Pernahkah Anda melihat sekumpulan anak muda yang sedang berkumpul di cafe, namun tidak saling berkomunikasi atau berinteraksi? Lantas, apa yang mereka lakukan? Yup, mereka ternyata sibuk dengan gadgetnya masing-masing, entah browsing, chatting, dan berbagai aktivitas lainnya. Inilah salah satu fenomena sosial yang saat ini kerap terjadi di kalangan millennial.
Perpustakaan menjadi sangat prospektif dalam pengembangan ke depannya. Pelayanan di perpustakaan harus bisa secara refleksif terhadap munculnya generasi millennial ini. Perpustakaan harus mengubah paradigma yang terkesan ‘angker/horor’ menjadi paradigma perpustakaan online dengan layanan yang berbasis web. Perpustakaan saat ini harus mengedepankan mutu layanan informasi yang multi peran. Free hotspot area maupun pemasangan wifi area merupakan sesuatu yang wajib di sebuah perpustakaan dalam era generasi millennial.
Dunia seakan telah menjadi kampung global (global village). Sementara internet sendiri sudah mulai merambah (booming) di Indonesia sejak tahun 2000-an. Saat ini perpustakaan harus adaptable with change, friendly dan ‘gaul’ dengan pemustakanya, mampu 'jemput bola’ dengan mengetahui apa yang menjadi keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) pemustakanya.
Sungguh sebuah PR dan tugas berat juga bagi para pustakawan, karena untuk melayani pemustaka di era generasi millennial ini dibutuhkan suatu kompetensi dan keprofesionalan dalam menguasai teknologi informasi. Agar tidak terjadi kesenjangan antara pustakawan dan pemustaka, maka pustakawan harus tidak ‘gaptek’, tapi harus mengimbangi dengan belajar, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat saat ini. Pustakawan harus mampu menerapkan kompetensinya, yang meliputi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan sikap (attitude) dalam melayani pemustakanya, baik yang meliputi kompetensi profesional maupun personal. Karena bagaimanapun ujung tombak perpustakaan di generasi millennial ini adalah di bagian layanan perpustakaannya.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat jelas berdampak secara signifikan terhadap cara millennial memperoleh informasi. Kemudahan dan kecepatan akses yang bisa di dapat hanya dengan sekali klik membuat generasi kita semakin menjadi malas dan mau serba instan. Salah satu aspek yang terdampak dari kemudahan akses ini adalah sektor pendidikan, utamanya perpustakaan. Kemudahan akses informasi melalui google membuat eksistensi perpustakaan mulai pudar dikalangan anak muda, terlebih pandangan tentang perpustakaan yang kuno, dan terkesan horor membuat banyak millennial yang beralih ke e-book untuk mencari bahan bacaan. Melihat hal ini, maka untuk merubah paradigma dalam wajah baru perpustakaan, diperlukan pengembangan sekaligus inovasi dalam tata kelola perpustakaan. Di zaman modern seperti sekarang, perpustakaan harus menyediakan wifi area, sehingga memungkinkan pemustaka mudah untuk mengakses informasi. Perpustakaan sebaiknya tidak terkesan kaku, dan lebih mengedepankan pada nilai seni atau artistik pada desain interiornya agar menarik minat generasi millennial untuk berkunjung.
Salah satu perpustakaan yang sudah beradaptasi terhadap perubahan zaman adalah UPT. Perpustakaan Unsyiah dan perpustakaan Taman Baca Kesiman yang terletak di kota Denpasar, Bali. Perpustaakaan atau yang kerap di sebut taman baca ini merupakan salah satu perpustakaan yang mengusung konsep green and read. Jika berkunjung kesini, Anda akan menemukan perpustkaan dengan konsep indoor dan outdoor dengan nuansa rumahan. Di dalamnya terdapat rak-rak buku yang bisa dipinjam untuk kemudian dibaca dimana saja yang penting di sekitar wilayah taman baca ini. Selain membaca, tempat ini juga bisa digunakan untuk bersosialisasi sekaligus bertukar pikiran dengan pengunjung lainnya.
Taman Baca Kesiman juga disebut sebagai salah satu tempat yang bisa merubah paradigma baru perpustakaan yang dikenal kaku dan kuno, karena di tempat ini juga sudah di lengkapi dengan tempat makan, sehingga memudahkan pustakawan yang memiliki kebiasaan belajar sambi nyemil. Selain itu, tarif masuknya yang gratis dan sudah tersedia wifi area di setiap sudutnya membuat taman baca ini disebut-sebut bisa membawa literasi informasi yang lebih baik untuk generasi millennial. Namun, dibalik semua fasilitas dan interior yang kekinian, Taman Baca Kesiman belum dilengkapi dengan sarana peminjaman buku secara online dan akses teknologi yang memadai. Tempat ini hanya memperbolehkan pustakawan meminjam dan membaca buku hanya di sekitar area taman baca dan tidak boleh di bawa pulang.
Perpustakaan Sebagai Tempat Bersosialisasi
(sumber : Instagram @tamanbacakesiman)
Dunia seakan telah menjadi kampung global (global village). Sementara internet sendiri sudah mulai merambah (booming) di Indonesia sejak tahun 2000-an. Saat ini perpustakaan harus adaptable with change, friendly dan ‘gaul’ dengan pemustakanya, mampu 'jemput bola’ dengan mengetahui apa yang menjadi keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) pemustakanya.
Sungguh sebuah PR dan tugas berat juga bagi para pustakawan, karena untuk melayani pemustaka di era generasi millennial ini dibutuhkan suatu kompetensi dan keprofesionalan dalam menguasai teknologi informasi. Agar tidak terjadi kesenjangan antara pustakawan dan pemustaka, maka pustakawan harus tidak ‘gaptek’, tapi harus mengimbangi dengan belajar, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat saat ini. Pustakawan harus mampu menerapkan kompetensinya, yang meliputi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan sikap (attitude) dalam melayani pemustakanya, baik yang meliputi kompetensi profesional maupun personal. Karena bagaimanapun ujung tombak perpustakaan di generasi millennial ini adalah di bagian layanan perpustakaannya.
Komentar
Posting Komentar